8/8/2012 | 20 Ramadhan 1433 H | Hits: 844
Oleh: Hodam Wijaya
dakwatuna.com - Separuh hidup
lelaki tua itu dalam kekelaman jahiliyah. Tumbuh dalam kehidupan yang keras.
Dhajanan adalah kenangan. Adalah sejarah masa kecil. Adalah bukit yang abadi
dalam ingatannya. Sebab di sana ia menggembala unta. Di sana ia mendapat
pendidikan keras. Dan di sana kepribadian itu terbentuk. Tidak seperti
anak-anak yang lain, masa mudanya dihabiskan dengan hura-hura dan bergelimang
harta. Ia kesepian, sendiri di bukit itu. Tapi Al-Khathab tidak peduli padanya.
“Sungguh, aku telah coba melupakan
kenangan itu, tapi hati kecilku berkata padaku.” Ia memang tidak
menyukai takdir itu. Tapi ia belajar berdamai dengan dirinya bahwa itulah yang
terbaik untuknya. Ia juga tahu diri. Karena itu ia belajar banyak hal; baca
tulis, bergulat, menunggang kuda, mencipta dan mendendang syair. Kemudian ia
menaruh perhatian terhadap masalah sejarah dan urusan bangsa Arab. Sosial,
politik dan budaya mereka. Ia giat belajar di universitas itu, Pasar Ukazh. Dan
kini takdir itulah yang telah mengajarinya tegar dalam menanggung beban berat.
Takdir itulah yang memberinya keberanian. Takdir itulah yang menciptakan misi:
ia ingin membuktikan bahwa dunia itu salah. Ia bisa berbuat dan menghasilkan
sesuatu. Dan kelak, takdir itu pula yang membawanya pada kemuliaan. Ia adalah
orang yang diberi ilham. Ia yang memiliki kemampuan seperti nabi. Ia adalah
Umar bin Khathab.
Menginjak masa muda, ia mulai menekuni dunia bisnis.
Melakukan kunjungan niaga ke berbagai daerah. Pada musim panas, Ia berniaga ke
negeri Syam dan pada saat musim dingin berniaga ke negeri Yaman. Dari
perniagaan itu ia mendapat dua keuntungan besar: harta dan ilmu. Harta
menghantarkannya menjadi salah satu orang terkaya di Mekah. Sedang ilmu
mengantarkannya menjadi orang besar.
Tiga puluh tahun dalam jahiliyah. Umar dapat menduduki
posisi strategis di tengah masyarakat Mekah. Kontribusinya sangat signifikan
terhadap berbagai peristiwa. Suku Quraisy mempercayainya sebagai hakim. Seperti
kata Ibnu Sa’ad: “Sebelum masuk Islam, Umar sudah terbiasa
menyelesaikan pelbagai sengketa yang terjadi di kalangan bangsa Arab.” Ia
terkenal sebagai orang yang bijaksana, bicaranya fasih, pendapatnya baik, kuat,
penyantun, terpandang, argumentasinya kokoh, dan bicaranya jelas.
Saat bangsa Arab berada di antara dua imperium besar:
Persia dan Romawi. Bangsa Arab tidak memiliki pusat pemerintahan yang
mengintegrasi mereka. Dan mengatur seluruh sisi kehidupan mereka. Setiap suku
mencerminkan kesatuan politik yang independen. Suku-suku bangsa Arab saat itu
saling bermusuhan. Bahasa sosial mereka adalah rimba raya. Hidup dengan cara
melakukan perampasan dan penghadangan di tengah jalan. Di antara mereka terjadi
perang yang berlarut-larut sebab hal sepele. Maka pantas Umar bin Khathab
diangkat menjadi delegasi suku Quraisy. Duta untuk menangani konflik di antara
mereka.
Barangkali sebab itu Allah SWT memilih Umar bin
Khathab dari pada Amr bin Hisyam. Mungkin sebab itu pula masa kecil Umar bin
Khathab begitu keras. Allah ingin ia menghabiskan separuh hidupnya lagi untuk
membantu Rasulullah dalam berdakwah. Dan itu adalah tugas yang lebih berat dari
kehidupan masa kecilnya yang dianggapnya berat. Sekaligus itu adalah jawaban
doa Rasulullah: “Ya Allah, muliakan Islam dengan orang yang paling
Engkau cintai dari kedua orang ini; Amr bin Hisyam atau Umar bin Khathab.”
Begitulah kisah dibalik keharuman namanya. Tidak ada
orang besar tanpa kehidupan yang keras. Tidak ada orang hebat tanpa
pembelajaran. Umar tidak pernah putus asa dari takdirnya. Baik takdir dirinya
ataupun bangsanya saat itu. Karena itu, jika takdirmu berbeda dengan yang lain.
Maka bedalah cara hidupmu dari yang lain.
Sumber:http://www.dakwatuna.com/2012/08/22188/di-balik-keharuman-nama-besar-umar-bin-khattab/#ixzz230lmJSGM
0 komentar:
Posting Komentar